Kami tidak pernah tahu tentang mata air itu, juga mengapa warga enggan melintasinya walau disiang hari.
Namanya
Imam, Asli Trenggalek dan saat ini mukim di Ponorogo. Gaya bicaranya
tegas tetapi humor. Rambut keriting, berbadan gempal, bermata lebar dan
sudah banyak malang melintang di dunia spiritual. “Kalau melintang itu
garis khatulistiwa, mas” guraunya dengan mimik serius, “Kalau saya lebih
banyak malangnya”.
Setelah makan malam saya melihatnya menahan
sakit setelah dirajah oleh Mbah Duro dalam musolah markas. Hawa panas
menyergap saya, suasana pengap. Kang Imam sesekali rebah sesekali muntah
dan setengah jam kemudian tertidur setelah Mbah Duro menotok titik
dibawah kedua telinganya.
Satu jam kemudian saya dan kang Imam
yang masih setengah ngantuk menyeberang jalan depan markas. Prosesi
selanjutnya adalah pembersihan diri dalam bentuk istighfar di pulau
jalan. Diantara lalu lintas mobil dan motor dan pandangan heran pengguna
jalan Kang Imam duduk sila diatas matras menghadap arah datangnya
kendaraan. Pukul 21.00. “Kang Imam ini adalah praktisi yang biasa di
kesunyian. Kalau berada di suasana sepi dan gelap dia merasa at home.
Sekarang dia harus meleburkan spiritualnya dalam keramaian,” kata Ki
Wong Alus ketika saya bertanya mengenai prosesi yang aneh ini.
Pagi
harinya saya terpaksa menyusul rombongan Ki Wong Alus yang telah
berangkat menuju Jolotundo. Jam menunjuk pukul delapan pagi. Ternyata
rombongan sudah sampai duluan di PPLH. Ki Wong Alus sedang berbicara
dengan petugas resepsionis, Kang Imam duduk diteras batu dekat etalase.
“Kita baru bisa masuk Guest House jam setengah sepuluh nanti, semua
tempat penuh tamu hari ini.” Ujar Ki Wong Alus.
Suasana PPLH
sangat ramai diujung minggu itu. Para kanak-kanak dan setengah baya
bergerombol sesuai seragam dan kegiatannya. Satu kelompok menuju sungai
besar, satu kelompok kearah ladang, kelompok lain belajar bercocok
tanam. Kelompok Wong Alus masuk hutan.
Biasanya kami susuri
saluran air dibawah PPLH itu pada malam hari. Namun Hari ini kami
melakukan pada pagi hari. Dalam apitan tebing dan jurang 45 derajat kami
berjalan menyiput. Pada batas tertentu aliran itu menuntun memasuki
jantung hutan sekitar jolotundo. Lintasan jalan setapak menyilang
dibeberapa tempat. Rumput dipinggirnya rebah merana terinjak kaki.
Setelah
meniti bebatuan dan pohon tumbang di gigir jurang sampailah kami
ditempat itu, batu kepala buaya. Rupanya Ki Wong Alus ingin lebih masuk
hutan lagi dan berhenti di pintu air yang mirip liang lahat. Lebar hanya
setengah meter, dalam 2 meter dan panjang 7 meter. Dan latihan sesi
pertama dimulai ditempat ini.
Saya masuk lebih dulu dalam liang
air itu, air deras setinggi mata kaki. Tugas kami memastikan tidak ada
binatang berbahaya. Setelah yakin akan keamanan tempat itu kami naik
keatas. Jam menunjuk pukul 10.00 saat Ki Wong Alus dan kang Imam
memasuki lahat air. Terdengar adzan dari dalam lahat dan prosesi
pembersihan diri yang mirip pemakaman dimulai lagi. Kang Imam sila
pasrah menentang air, entah apa yang dipikirkan dan dirasakannya dalam
lubang sempit itu. Air gunung yang terbendung badannya bertumpuk didepan
perut. Sementara kami mengawasi kawasan sekelilingnya.
Sampai
saat itu kami belum menjumpai ular atau lintah. Serangga menempel dan
berputar diatas air. Sinar matahari menembus dedaunan, membentuk pilar
cahaya yang berasap. Ada daun dan ranting luruh bersamaan. ada aroma
tanah basah. Ada seorang nenek berjalan sendiri mencari kemiri. Kang
Imam tiarap mirip buaya dengan kepala menentang air.
Tiga orang
mendekati kami. Salah satunya pegawai PPLH yang saya kenal. Menyapa kami
dan berjalan melintasi jalan setapak menaik. Saya ikuti mereka dari
belakang dan sampai disebuah mata air yang menyembur dari batu granit
besar. Beberapa kolam dengan alas datar terbentuk tak jauh dari situ.
“tempat ini cocok untuk jalur outbound,” kata seorang tamu yang ternyata
Event Organizer. “Tetapi mohon ditempat ini untuk menjaga ucapan atau
tingkah laku. Juga sebisa mungkin tidak foto-foto selfi. Daripada
mengalami sesuatu yang tidak enak.” Jelas Pegawai PPLH itu sambil
melihat saya. Sejurus kemudian mereka mendaki menuju pintu air ditempat
lain.
Saya ceritakan tentang tempat itu pada teman-teman dipintu
air dan berangkat bersama melihat keberadaan mata air tersebut. Saya
menjemput Kiwa dan Kang Imam. Kami pun pindah lapak.
Dimata air
itu lah kegiatan luar ruangan diselesaikan. Hampir dua jam Kang imam
duduk sila diatas batu dengan air yang mengguyur dari atasnya. Kiwa
berdiri dibelakang berada dibawah pohon bambu diseberang mata air. Saya
pamit sejenak untuk mengeksplorasi lokasi lebih luas. Kelancangan ini
menyebabkan kerambit saya hilang.
Pukul 12.00 gong terdengar dari
restoran PPLH. Seketika semua mahluk disedot dalam restoran. Manusia
berduyun masuk bersama serangga. Denting logam dan piring beradu dengan
suara manusia. Termasuk suara kami.
Pengijasahan ilmu-ilmu yang
sebelumnya dilakukan di mushola dan di luar ruangan kini dilanjutkan di
guest house. Saya kembali ke tugas abadi, masuk dapur membuat kopi.
Istirahat siang dalam hawa Trawas yang kurang sejuk. Salah satu puncak
Penanggungan menyembul dalam diam seorang resi. Tanah ini sejak jaman
dulu disucikan oleh bermacam tirakat penempaan jiwa raga setiap
generasi.
Asar menyelimuti bumi penanggungan. Sesi selanjutnya
milik saya. Setiap geraman muncul seiring gerakan Kang Imam. Geliat
tubuh yang kejang itu beriring dengan mual kang Imam. Sudah, cukup,
Kang, saya tidak berani memimpin lebih lanjut lagi. Karena sesungguhnya
sampeyan sudah melawati fase ini. Biar Wong Alus yang melanjutkan.
Pada
malam hari, Materi terapi telur kali ini lumayan lama.Telur ayam
kampung itu harus digelindingkan beberapa kali di titik badan kang Imam.
Depan dan belakang. Selanjutnya praktek terapi bara api dan dilanjutkan
materi lain termasuk diskusi lepas hingga pukul 00.00.
Dan Kang Imam memilih tidur di atas tikar beratap langit tanpa selimut.
Setelah
sarapan kami meluncur ke Sidoarjo. Semua materi pelatihan telah
selesai. Wong Alus tampak sedikit payah. Kang Imam tidak ingin lebih
lama di Sidoarjo. Dia ingin segera pulang. Tas punggung hijau
dipangkunya saat Angkot kuning hijau membawanya ke Bungurasih. Selamat
jalan, KI AGENG IMAM PENANGGUNGAN semoga secepatnya kita bertemu lagi…
@@@
Home »Unlabelled » REPORTASE PELATIHAN PRIVATE GURU/MASTER KWA ANGKATAN 24
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar