REPORTASE PELATIHAN PRIVATE GURU/MASTER KWA ANGKATAN 24

Bookmark and Share
Kami tidak pernah tahu tentang mata air itu, juga mengapa warga enggan melintasinya walau disiang hari.

Namanya Imam, Asli Trenggalek dan saat ini mukim di Ponorogo. Gaya bicaranya tegas tetapi humor. Rambut keriting, berbadan gempal, bermata lebar dan sudah banyak malang melintang di dunia spiritual. “Kalau melintang itu garis khatulistiwa, mas” guraunya dengan mimik serius, “Kalau saya lebih banyak malangnya”.

Setelah makan malam saya melihatnya menahan sakit setelah dirajah oleh Mbah Duro dalam musolah markas. Hawa panas menyergap saya, suasana pengap. Kang Imam sesekali rebah sesekali muntah dan setengah jam kemudian tertidur setelah Mbah Duro menotok titik dibawah kedua telinganya.

Satu jam kemudian saya dan kang Imam yang masih setengah ngantuk menyeberang jalan depan markas. Prosesi selanjutnya adalah pembersihan diri dalam bentuk istighfar di pulau jalan. Diantara lalu lintas mobil dan motor dan pandangan heran pengguna jalan Kang Imam duduk sila diatas matras menghadap arah datangnya kendaraan. Pukul 21.00. “Kang Imam ini adalah praktisi yang biasa di kesunyian. Kalau berada di suasana sepi dan gelap dia merasa at home. Sekarang dia harus meleburkan spiritualnya dalam keramaian,” kata Ki Wong Alus ketika saya bertanya mengenai prosesi yang aneh ini.

Pagi harinya saya terpaksa menyusul rombongan Ki Wong Alus yang telah berangkat menuju Jolotundo. Jam menunjuk pukul delapan pagi. Ternyata rombongan sudah sampai duluan di PPLH. Ki Wong Alus sedang berbicara dengan petugas resepsionis, Kang Imam duduk diteras batu dekat etalase. “Kita baru bisa masuk Guest House jam setengah sepuluh nanti, semua tempat penuh tamu hari ini.” Ujar Ki Wong Alus.

Suasana PPLH sangat ramai diujung minggu itu. Para kanak-kanak dan setengah baya bergerombol sesuai seragam dan kegiatannya. Satu kelompok menuju sungai besar, satu kelompok kearah ladang, kelompok lain belajar bercocok tanam. Kelompok Wong Alus masuk hutan.

Biasanya kami susuri saluran air dibawah PPLH itu pada malam hari. Namun Hari ini kami melakukan pada pagi hari. Dalam apitan tebing dan jurang 45 derajat kami berjalan menyiput. Pada batas tertentu aliran itu menuntun memasuki jantung hutan sekitar jolotundo. Lintasan jalan setapak menyilang dibeberapa tempat. Rumput dipinggirnya rebah merana terinjak kaki.

Setelah meniti bebatuan dan pohon tumbang di gigir jurang sampailah kami ditempat itu, batu kepala buaya. Rupanya Ki Wong Alus ingin lebih masuk hutan lagi dan berhenti di pintu air yang mirip liang lahat. Lebar hanya setengah meter, dalam 2 meter dan panjang 7 meter. Dan latihan sesi pertama dimulai ditempat ini.

Saya masuk lebih dulu dalam liang air itu, air deras setinggi mata kaki. Tugas kami memastikan tidak ada binatang berbahaya. Setelah yakin akan keamanan tempat itu kami naik keatas. Jam menunjuk pukul 10.00 saat Ki Wong Alus dan kang Imam memasuki lahat air. Terdengar adzan dari dalam lahat dan prosesi pembersihan diri yang mirip pemakaman dimulai lagi. Kang Imam sila pasrah menentang air, entah apa yang dipikirkan dan dirasakannya dalam lubang sempit itu. Air gunung yang terbendung badannya bertumpuk didepan perut. Sementara kami mengawasi kawasan sekelilingnya.

Sampai saat itu kami belum menjumpai ular atau lintah. Serangga menempel dan berputar diatas air. Sinar matahari menembus dedaunan, membentuk pilar cahaya yang berasap. Ada daun dan ranting luruh bersamaan. ada aroma tanah basah. Ada seorang nenek berjalan sendiri mencari kemiri. Kang Imam tiarap mirip buaya dengan kepala menentang air.

Tiga orang mendekati kami. Salah satunya pegawai PPLH yang saya kenal. Menyapa kami dan berjalan melintasi jalan setapak menaik. Saya ikuti mereka dari belakang dan sampai disebuah mata air yang menyembur dari batu granit besar. Beberapa kolam dengan alas datar terbentuk tak jauh dari situ. “tempat ini cocok untuk jalur outbound,” kata seorang tamu yang ternyata Event Organizer. “Tetapi mohon ditempat ini untuk menjaga ucapan atau tingkah laku. Juga sebisa mungkin tidak foto-foto selfi. Daripada mengalami sesuatu yang tidak enak.” Jelas Pegawai PPLH itu sambil melihat saya. Sejurus kemudian mereka mendaki menuju pintu air ditempat lain.

Saya ceritakan tentang tempat itu pada teman-teman dipintu air dan berangkat bersama melihat keberadaan mata air tersebut.  Saya menjemput Kiwa dan Kang Imam. Kami pun pindah lapak.

Dimata air itu lah kegiatan luar ruangan diselesaikan. Hampir dua jam Kang imam duduk sila diatas batu dengan air yang mengguyur dari atasnya. Kiwa berdiri dibelakang berada dibawah pohon bambu diseberang mata air. Saya pamit sejenak untuk mengeksplorasi lokasi lebih luas. Kelancangan ini menyebabkan kerambit saya hilang.

Pukul 12.00 gong terdengar dari restoran PPLH. Seketika semua mahluk disedot dalam restoran. Manusia berduyun masuk bersama serangga. Denting logam dan piring beradu dengan suara manusia. Termasuk suara kami.

Pengijasahan ilmu-ilmu yang sebelumnya dilakukan di mushola dan di luar ruangan kini dilanjutkan di guest house. Saya kembali ke tugas abadi, masuk dapur membuat kopi. Istirahat siang dalam hawa Trawas yang kurang sejuk. Salah satu puncak Penanggungan menyembul dalam diam seorang resi. Tanah ini sejak jaman dulu disucikan oleh bermacam tirakat penempaan jiwa raga setiap generasi.

Asar menyelimuti bumi penanggungan. Sesi selanjutnya milik saya. Setiap geraman muncul seiring gerakan Kang Imam. Geliat tubuh yang kejang itu beriring dengan mual kang Imam. Sudah, cukup, Kang, saya tidak berani memimpin lebih lanjut lagi. Karena sesungguhnya sampeyan sudah melawati fase ini. Biar Wong Alus yang melanjutkan.

Pada malam hari, Materi terapi telur kali ini lumayan lama.Telur ayam kampung itu harus digelindingkan beberapa kali di titik badan kang Imam. Depan dan belakang. Selanjutnya praktek terapi bara api dan dilanjutkan materi lain termasuk diskusi lepas hingga pukul 00.00.

Dan Kang Imam memilih tidur di atas tikar beratap langit tanpa selimut.

Setelah sarapan kami meluncur ke Sidoarjo. Semua materi pelatihan telah selesai. Wong Alus tampak sedikit payah. Kang Imam tidak ingin lebih lama di Sidoarjo. Dia ingin segera pulang. Tas punggung hijau dipangkunya saat Angkot kuning hijau membawanya ke Bungurasih. Selamat jalan, KI AGENG IMAM PENANGGUNGAN semoga secepatnya kita bertemu lagi…

 @@@

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar